Rabu 29
Mei tepatnya, pagi pagi ada sebuah pesan singkat yang bertandang di inbox note
saya. Baru kemarin saya mengirim pesan kepada beliau agar berkenan diwawancarai
oleh saya dan beliau langsung menjawab dengan singkat dan cepat. “Gedung pwk lt
4 ya habis jam satu, saya biasanya ada di ruangan depan pintu pak djoko atau di
ruang rapat , dipastikan saja” balas beliau Selasa siang sewaktu saya masih
duduk terpukau tayangan kumpulan Film karya Garin Nugraha di Aula Timur ITB. Mendapat
balasan seperti itu, sebenarnya saya sendiri senang senang nervous sendiri.
Sudah sebulan lamanya saya berusaha mengontak beliau lewat email dan baru hari
itu saya memutuskan untuk berani mengirimkan pesan singkat (yang nomornya saya
dapatkan dari kadiv tercinta saya, Kak Sarah Najmilah) , dan ternyata
jawabannya tidak lebih dari lima menit ! sedangkan setelah ujicoba email yang
entah email tujuan sudah tidak valid atau memang tidak mendapat balasan, saya
memang tidak mencoba lanjut karena sebulan sebelumnya memang perhatian saya
serasa dialihkan oleh the-two-letter-thing-which-is-so-sacred di himpunan saya.
Kembali ke inti cerita, narasumber yang saya maksud kali ini adalah Ibu Myra P
Gunawan, dosen di program studi saya yang pada tahun 2009 kemarin memasuki masa
purnabakti.
Kenapa
beliau ? Saya sudah lama mendengar nama beliau sebenarnya. Sewaktu peluncuran
buku 50 Tahun Perjalanan Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia, sewaktu
selintas membaca nama-nama dosen pengampu mata kuliah, dan yang terakhir, yang
membuat saya tertarik adalah pada Dies Natalis ITB ke 54 nama beliau kembali
disebutkan sebagai penerima Ganesha Cendekia Widya Utama atas jasanya sebagai
perintis studi pariwisata di ITB ini. Walau saya mahasiswi planologi dan cukup
mengenal dosen-dosen planologi paling tidak yang pernah mengajar saya, tentu
cukup susah untuk menemui Ibu Myra karena memang beliau tidak aktif mengajar
lagi. Tapi seakan ini keinginan saya sendiri, suatu saat saya ingin membuat
berita profil beliau. Profil seorang perintis studi pariwisata ITB.
Singkat
cerita hari Rabu siang itu. Setelah memperkenalkan diri saya sendiri, saya
menjelaskan maksud untuk mewawancarai beliau, untuk membuat berita profil
civitas akademika ITB. “Wah saya ga mau
kalau begitu” JDEER bumi gondjang gandjing. “Maksud saya, saya ingin artikelnya
fokus ke pembahasan pariwisata dan perkembangannya. Kalau tentang profil saya,
adik tahu sendiri kan saya ini udah pensiun nggak akan ada yang baca berita
adik kalau membahas tentang profil saya ini. Mending membahas pariwisata saat
ini dan bagaimana perkembangannya” terang beliau. Sedikit bernegosiasi, tapi
akhirnya saya nyerah juga. Saya menyanggupi permintaan beliau tentang fokus
pembahasan awal mula lahirnya studi pariwisata di ITB ini.
Secara garis
besar, bagaimana proses awal mula berdirinya studi pariwisata ini dan dikaitkan
dengan latar belakang pendidikan Ibu ?
Pertama
kalinya tercetus adanya pariwisata itu sebenarnya malah dari mahasiswa. Sekitar
tahun 70-an, ada salah satu mahasiswa bimbingan saya yang datang ke saya dan
mengajukan tema pariwisata, sesuatu yang sangat jarang saat itu. Dia itu anaknya
pemilik Hotel Panghegar dulu dan dia sudah melakukan riset yang cukup mendalam.
Sayang sebenarnya saya sendiri juga tidak cukup mengerti tentang pariwisata.
Saat itu, mendengar kata ‘pariwisata’ saja bahkan rasanya tidak pernah tapi
melihat semangat anak itu, saya memutuskan untuk membantu anak tersebut.
Setelah itu, ternyata banyak juga mahasiswa lain setelah dia yang mengajukan
tema pariwisata ke dosen-dosen bimbingan lainnya. Setelah itu, Planologi ITB
dimintai tolong oleh Direktorat Jenderal Dinas Perhubungan saat itu untuk
membuat masterplan atau rencana induk Perencanaan Pariwisata Nasional. Kita
belajar ‘otodidak’ dari dokumen-dokumen yang ada, saat itu buku-buku mengenai pariwisata
jarang sekali ada.
Sesudah
itu,bersama mitra kerja tim bantuan Jepang, kami tim planologi ITB membuat
perencanaan wilayah dalam konteks Pariwisata untuk wilayah Jawa Barat bagian
Barat. tim planologi ITB kembali ditugasi oleh Departemen Parpostel (saya search
kepanjangannya susah, seingat saya Pariwisata Pos dan Telkomunikasi) Pemerintah
Daerah NTT untuk membuat analisis perencanaan pariwisata. Sepulang dari NTT,
Rektor ITB saat itu, Pak Wiranto Arismunandar langsung memberi mandat kepada
saya, dik “ITB harus punya Pusat Penelitian Pariwisata” . Awal tahun 1993 saya
mengajukan proposal untuk pendirian pusat penelitian pariwisata. Dalam dua hari
proposal tersebut sudah ditandatangani dan berdirilah Pusat Penelitian
Pariwisata, kalau sekarang karena restrukturisasi namanya jadi Pusat
Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Tapi dari dulu singkatannya ya tetap
sama P2Par. Sesudah itu, ada juga permintaan untuk membuka S2 pariwisata, tapi
saat itu critical mass nya tidak
terpenuhi dik sayangnya.
Tahun
2001 sampai dengan 2004 saya bekerja sebagai Deputi Bidang Sumber Daya dan
Promosi Pariwisata di Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia.
Saya sendiri merasa lebih banyak belajar saya di Depparbud, dik. Saat itu
Indonesia masih krisis keuangan nasional pasca 1998 belum lagi tragedi bom bali
yang sangat mempengaruhi pariwisata Indonesia. Keuangan tidak stabil tapi kami
juga bertanggungjawab untuk memulihkan pariwisata Indonesia.
Apa yang membuat
Ibu termotivasi untuk terus menggeluti bidang pariwisata ini ?
Saya
yakin bahwa pariwisata itu sektor yang sangat potensial untuk Indonesia di masa
depan. Hanya saja memang pariwisata itu harus direncanakan dan dijalankan
dengan baik. Kalau tiga kebutuhan dasar manusia sudah terpenuhi – sandang,
pangan, dan papan – yang manusia cari selanjutnya itu pasti rekreasi. Kebutuhan
rekreasi ini difasilitasi dengan adanya sektor pariwisata. Motivasi lainnya,
saya melihat mahasiswa.
Kakak
kelas kamu yang belum lama lulus, ada yang pernah minta tolong bantuan saya
untuk mematangkan konsep salah satu program mereka. Program Pemuda Pariwisata
namanya, konsepnya itu berangkat dari kebutuhan Indonesia akan pemimpin
nasional. Hipotesanya, pemimpin nasional itu kan harus mengenal nusantaranya
sendiri. Generasi muda sekarang kan harapan bangsa, harapannya setelah
seseorang mengerti bagaimana kondisi nusantaranya, bagaimana realitanya dia
tidak akan gamang lagi, bingung apa yang harus dilakukan ketika tiba saatnya
dia memimpin. Rekreasi itu bisa tidak hanya bermanfaat untuk individu sendiri,
tapi juga untuk bangsanya.
Apakah arti
penghargaan Ganesha Cendekia Widya Utama bagi Ibu ?Bagimana perasaan Ibu
sebagai penerima penghargaan tersebut ?Apakah penghargaan yang paling berkesan
bagi Ibu ?
Tentu
saja saya berterimakasih kepada ITB, ITB masih ingat saya. Kalau ditanya
penghargaan yang paling berkesan, saya bisa jawab penghargaan Ganesha apalaah
itu yang diberikan saat Dies Natalis kemarin. Menerima penghargaan itu
sebenarnya membuat perasaan saya campur aduk. Di sisi lain, saya sedih karena
saya tidak bisa turun tangan langsung membesarkan studi magister kepariwisataan
ini, karena memang kebijakan ITB saat itu saya sudah memasuki masa purnabakti.
Bagaimana ya.. (beliau terdiam beberapa lama sebelum akhirnya menjawab)
Hampir
sekitar 40 tahun saya menjadi dosen. Saya menggagas, dan bisa dibilang
membidani lahirnya sebuah bayi yaitu studi pariwisata ini. Sayangnya saya tidak
bisa ikut membesarkannya, dan dosen-dosen lain lah yang harus mengurus si bayi
kecil ini. (beliau mengibaratkan studi pariwisata ini seperti bayi, sebenarnya
saya merasa terenyuh mendengar beliau. Seakan pariwisata sendiri sudah seperti
anak tanpa ikatan darah untuk beliau hhe). Saya sama sekali tidak menyalahkan
kebijakan ITB yah dik, tapi saya akan dengan sangat senang hati mengabdikan
ilmu saya jika ITB meminta saya untuk mengajar, tidak dibayar sekalipun. Penghargaan Ganesha tersebut sejujurnya akan
lebih berarti untuk saya sendiri jika saya masih memiliki kesempatan untuk
mengajar.
##Berbahagialah kakak-kakak yang pernah
mengambil mata kuliah yang diampu beliau. Dari nada beliau berbicara, she is
indirectly taught me that passion is the key to learning,
and also for sharing. Apalagi “penghargaan akan lebih berarti untuk saya jika
saya masih memiliki kesempatan untuk mengajar, tidak dibayar sekalipun”. Tidak
saya tidak menyinggung hal ihwal materialistis tapi sungguh saya baru pertama
kali bertemu seseorang se –passionate beliau. Bahkan di saat yang bisa saja
beliau gunakan untuk bersantai, beliau masih merasa ingin berbagi ilmu beliau
kepada mahasiswa-mahasiswanya. Setelah Ibu Betty Alisjahbana, sepertinya list
alumni SAPPK yang menginspirasi saya untuk menekuni bidang planologi bertambah
satu.
(bersambung)