Jumat, 24 April 2015

Antara Jurnalis dan Perencana

“Prinsip utama dalam ilmu planning itu sebenarnya hanya ada dua. Tidak boleh mengambil manfaat dari orang lain tanpa memberikan manfaat kepada yang lain, dan (apalagi) tidak boleh mengambil manfaat dengan merugikan orang lain,”

- Tubagus Furqon, dosen Teori Perencanaan

Di masa-masa yang banyak berkontemplasi mengenai pekerjaan di masa mendatang seperti sekarang, banyak hal yang dipikirkan ataupun tidak sengaja saya pikirkan terkait pekerjaan di masa mendatang (ya masa mau nganggur juga sih susah susah kuliah di ITB). Akhir-akhir ini saya membaca buku karangan Jakob Utama berjudul “Pers Indonesia”, dan tidak bisa berhenti berpikir kalau menjadi planner dan jurnalis bisa dibilang memiliki banyak kemiripan dalam beberapa hal. Poin utamanya bisa berangkat dari kesamaan dua hal tersebut. Mereka semua adalah profesi, bukan pekerjaan.

“Semua profesi itu adalah pekerjaan. Tapi belum tentu sebuah pekerjaan adalah profesi” saya masih ingat kalimat tersebut merupakan kalimat pembuka ketika saya pertama kali berkenalan dengan Kak Andis pada waktu pembukaan training magang pertama kali di Kantor Berita. Kak Andis saat itu menjelaskan, kalau misalnya profesi itu berbeda dengan pekerjaan dikarenakan tingkat ‘kedalamannya’ terhadap ilmu yang dia kuasai. Misal, profesi dokter memerlukan pelatihan dalam waktu lama sebelum dia bisa membuka praktek sendiri atau misalnya dalam hal ini adalah wartawan yang kinerjanya juga dinilai dari pengalaman-pengalaman dan kompetensi yang sudah distandarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sama juga halnya dengan planner yang mempunyai strata perencana tingkat madya dan seterusnya, wartawan juga memiliki semacam ‘tingkatannya’ sendiri dan harus melalui berbagai pelatihan untuk sampai pada posisi tertentu. Beda halnya dengan beberapa pekerjaan seperti wirausaha misalnya, mereka bisa saja otodidak dan pelatihan yang mereka dapatkan dan pekerjaanya tidak terikat secara hukum terhadap lembaga tertentu.

“Tapi yang paling membedakan profesi dengan pekerjaan itu ada di satu hal yang namanya kode etik” lanjutnya. Dari sini, pasti kita sudah tahu kalau yang namanya profesi pasti diikuti dengan kode etik. Kode etik, sepanjang yang saya dengar dari kuliah TP dan dari pengetahuan jurnalistik saya yang cetek ini, bersumber dari hati nurani. Kenapa sebuah profesi memerlukan kode etik ? kalau misalnya Jakob Utama bilang “Guna menjamin tegaknya kebebasan pers, serta terpenuhinya hak-hak masyarakat,”

Kalimat terakhir ini yang mungkin di setiap pertemuan kuliah Teori Perencanaan selalu disinggung, hak-hak masyakarat yang mungkin bisa dikaitkan dengan yang namanya public interest. Saya pernah iseng nyari apa itu “yellow journalism” dan mendapatkan bahwa sebenarnya bagaimana masyarakat itu merupakan cerminan media pers nya saat itu juga. Intinya, hasil pekerjaan dari wartawan akan sangat berpengaruh terhadap kondisi realitas masyarakat saat itu. Ada yang bilang kalau kode etik itu dibuat sebagai ‘perjanjian’ antara profesi bersangkutan dengan masyarakat. Hasil pekerjaan dari sebuah profesi, bukan pekerjaan, memiliki dampak yang sangat besar terhadap masyarakat sehingga dibuatlah kode etik, supaya wartawan, dokter, planner, dan berbagai profesi lainnya tidak melenceng dan mengedepankan kepentingan umum dibanding kepentingan partisan. Sesuatu yang mengedepankan kepentingan publik, bisa dibilang merupakan karakter ilmu-ilmu yang sifatnya public domain.

Apabila pers merupakan refleksi dari kenyataan masyarakat. Pastinya ada hal-hal yang sulit dilakukan terkait  tanggung jawab terhadap kode etik. Misalnya menjelaskan duduk perkara suatu kejadian apa adanya, tanpa (bahkan) opini pribadi dan boro-boro kepentingan pihak lain dalam proses penulisan. Tidak semua hal yang kita ketahui dapat disajikan kepada publik,  yang dalam prosesnya terdapat penilaian-penilaian tertentu yang menuntut kecermatan, kehati-hatian serta pertimbangan yang matang. “Di sini letaknya pemahaman mengenai kode etik dari pribadi seorang wartawan bari dikembalikan pada sumber daya manusianya termasuk masalah editorial management yang baik,” masih kata Jakob Utama.


Kalau misalnya saya tahu kode etik jurnalistik di awal sebelum saya belajar jurnalistik, kebalikan dengan kuliah saya yang mengajarkan kode etik perencana di akhir kuliah. Yah kalo belajarnya di akhir sih kaya jadi lebih kebayang kongkrit apa urgensi dan contoh nyata kesulitan mengaplikasikan kode etik dalam menjalankan profesi. Dua-duanya punya tantangan tersendiri mungkin yah, tapi yang jelas seseorang yang terjun ke sebuah profesi itu seharusnya mereka punya nilai atau value sendiri, value itu yang mereka perjuangkan ketika mereka dihadapkan oleh permasalahan yang menuntut profesionalitas mereka. Etika, adalah “has to do with duty, duty of self and duty to others” (Ethics and the Press, John C. Merrill DAN Ralph D. Barney, 1975 dari Missouri School od Journalism) dan bagaimana kita menyikapinya tergantung dari value yang kita pegang dan kita mau untuk perjuangkan. Karena standar yang (misalnya) wartawan terapkan dalam pekerjaannya tidak hanya menyangkut orang lain, tetapi juga dirinya. Apabila hukum datangnya dari luar, maka etika datangnya dari dalam.  

Nilai memang akan sangat tergantung dari pribadi masing-masing, tidak ada patokan yang benar dan salah. Tapi justru hal-hal seperti ini yang menjadi ciri dari ilmu-ilmu public domain seperti planning, dan standar kompetensi yang diterapkan akan sangat tergantung dari bagaimana seorang individu memahami etika dan nilai yang mereka pegang, Memperjuangkannya mungkin bisa jadi hal yang lebih berat. Tetapi bukannya itu perannya ? Kalau Pramoedya Ananta Toer bilang dalam bukunya “Orang itu harus sudah adil sejak dalam pikiran,” hal ini tidak segampang itu apabila menghadapi kondisi sebenarnya. Peranan pers memang berat. Di satu pihak demokrasi di lain pihak kritis dan transisi. Di  sisi lainnya lagi juga mengawasi kekuasaan, sama sama kesulitan yang dihadapi oleh pihak planner. Mungkin tidak ada salahnya kalau sebelum terjun ke dunia kerja yang sebenarnya, lebih dulu kita menyadari pernyatan Benjamin Franklin dalam Konvensi Konstitusi Amerika Serikat :

Sir, there are two passions which  have a powerful influence on the affairs of men. These are ambition and avarice, the love of power and the love of money