“Prinsip utama dalam ilmu
planning itu sebenarnya hanya ada dua. Tidak boleh mengambil manfaat dari orang
lain tanpa memberikan manfaat kepada yang lain, dan (apalagi) tidak boleh
mengambil manfaat dengan merugikan orang lain,”
- Tubagus
Furqon, dosen Teori Perencanaan
Di masa-masa yang banyak
berkontemplasi mengenai pekerjaan di masa mendatang seperti sekarang, banyak
hal yang dipikirkan ataupun tidak sengaja saya pikirkan terkait pekerjaan di
masa mendatang (ya masa mau nganggur juga sih susah susah kuliah di ITB). Akhir-akhir
ini saya membaca buku karangan Jakob Utama berjudul “Pers Indonesia”, dan tidak
bisa berhenti berpikir kalau menjadi planner dan jurnalis bisa dibilang
memiliki banyak kemiripan dalam beberapa hal. Poin utamanya bisa berangkat dari
kesamaan dua hal tersebut. Mereka semua adalah profesi, bukan pekerjaan.
“Semua profesi itu adalah
pekerjaan. Tapi belum tentu sebuah pekerjaan adalah profesi” saya masih ingat
kalimat tersebut merupakan kalimat pembuka ketika saya pertama kali berkenalan
dengan Kak Andis pada waktu pembukaan training magang pertama kali di Kantor
Berita. Kak Andis saat itu menjelaskan, kalau misalnya profesi itu berbeda
dengan pekerjaan dikarenakan tingkat ‘kedalamannya’ terhadap ilmu yang dia
kuasai. Misal, profesi dokter memerlukan pelatihan dalam waktu lama sebelum dia
bisa membuka praktek sendiri atau misalnya dalam hal ini adalah wartawan yang
kinerjanya juga dinilai dari pengalaman-pengalaman dan kompetensi yang sudah
distandarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sama juga halnya dengan
planner yang mempunyai strata perencana tingkat madya dan seterusnya, wartawan
juga memiliki semacam ‘tingkatannya’ sendiri dan harus melalui berbagai
pelatihan untuk sampai pada posisi tertentu. Beda halnya dengan beberapa
pekerjaan seperti wirausaha misalnya, mereka bisa saja otodidak dan pelatihan
yang mereka dapatkan dan pekerjaanya tidak terikat secara hukum terhadap
lembaga tertentu.
“Tapi yang paling
membedakan profesi dengan pekerjaan itu ada di satu hal yang namanya kode etik”
lanjutnya. Dari sini, pasti kita sudah tahu kalau yang namanya profesi pasti
diikuti dengan kode etik. Kode etik, sepanjang yang saya dengar dari kuliah TP
dan dari pengetahuan jurnalistik saya yang cetek ini, bersumber dari hati
nurani. Kenapa sebuah profesi memerlukan kode etik ? kalau misalnya Jakob Utama
bilang “Guna menjamin tegaknya kebebasan pers, serta terpenuhinya hak-hak
masyarakat,”
Kalimat terakhir ini yang
mungkin di setiap pertemuan kuliah Teori Perencanaan selalu disinggung, hak-hak
masyakarat yang mungkin bisa dikaitkan dengan yang namanya public interest. Saya pernah iseng nyari apa itu “yellow journalism” dan mendapatkan bahwa
sebenarnya bagaimana masyarakat itu merupakan cerminan media pers nya saat itu
juga. Intinya, hasil pekerjaan dari wartawan akan sangat berpengaruh terhadap
kondisi realitas masyarakat saat itu. Ada yang bilang kalau kode etik itu
dibuat sebagai ‘perjanjian’ antara profesi bersangkutan dengan masyarakat. Hasil
pekerjaan dari sebuah profesi, bukan pekerjaan, memiliki dampak yang sangat
besar terhadap masyarakat sehingga dibuatlah kode etik, supaya wartawan,
dokter, planner, dan berbagai profesi lainnya tidak melenceng dan mengedepankan
kepentingan umum dibanding kepentingan partisan. Sesuatu yang mengedepankan
kepentingan publik, bisa dibilang merupakan karakter ilmu-ilmu yang sifatnya
public domain.
Apabila pers merupakan
refleksi dari kenyataan masyarakat. Pastinya ada hal-hal yang sulit dilakukan
terkait tanggung jawab terhadap kode
etik. Misalnya menjelaskan duduk perkara suatu kejadian apa adanya, tanpa
(bahkan) opini pribadi dan boro-boro kepentingan pihak lain dalam proses
penulisan. Tidak semua hal yang kita ketahui dapat disajikan kepada
publik, yang dalam prosesnya terdapat
penilaian-penilaian tertentu yang menuntut kecermatan, kehati-hatian serta pertimbangan
yang matang. “Di sini letaknya pemahaman mengenai kode etik dari pribadi
seorang wartawan bari dikembalikan pada sumber daya manusianya termasuk masalah
editorial management yang baik,” masih kata Jakob Utama.
Kalau misalnya saya tahu
kode etik jurnalistik di awal sebelum saya belajar jurnalistik, kebalikan
dengan kuliah saya yang mengajarkan kode etik perencana di akhir kuliah. Yah
kalo belajarnya di akhir sih kaya jadi lebih kebayang kongkrit apa urgensi dan
contoh nyata kesulitan mengaplikasikan kode etik dalam menjalankan profesi. Dua-duanya
punya tantangan tersendiri mungkin yah, tapi yang jelas seseorang yang terjun
ke sebuah profesi itu seharusnya mereka punya nilai atau value sendiri, value
itu yang mereka perjuangkan ketika mereka dihadapkan oleh permasalahan yang
menuntut profesionalitas mereka. Etika, adalah “has to do with duty, duty of self and duty to others” (Ethics and
the Press, John C. Merrill DAN Ralph D. Barney, 1975 dari Missouri School od
Journalism) dan bagaimana kita menyikapinya tergantung dari value yang kita
pegang dan kita mau untuk perjuangkan. Karena standar yang (misalnya) wartawan
terapkan dalam pekerjaannya tidak hanya menyangkut orang lain, tetapi juga
dirinya. Apabila hukum datangnya dari luar, maka etika datangnya dari dalam.
Nilai memang akan sangat
tergantung dari pribadi masing-masing, tidak ada patokan yang benar dan salah.
Tapi justru hal-hal seperti ini yang menjadi ciri dari ilmu-ilmu public domain
seperti planning, dan standar kompetensi yang diterapkan akan sangat tergantung
dari bagaimana seorang individu memahami etika dan nilai yang mereka pegang,
Memperjuangkannya mungkin bisa jadi hal yang lebih berat. Tetapi bukannya itu
perannya ? Kalau Pramoedya Ananta Toer bilang dalam bukunya “Orang itu harus
sudah adil sejak dalam pikiran,” hal ini tidak segampang itu apabila menghadapi
kondisi sebenarnya. Peranan pers memang berat. Di satu pihak demokrasi di lain
pihak kritis dan transisi. Di sisi
lainnya lagi juga mengawasi kekuasaan, sama sama kesulitan yang dihadapi oleh
pihak planner. Mungkin tidak ada salahnya kalau sebelum terjun ke dunia kerja
yang sebenarnya, lebih dulu kita menyadari pernyatan Benjamin Franklin dalam
Konvensi Konstitusi Amerika Serikat :
“Sir, there are two
passions which have a powerful influence
on the affairs of men. These are ambition and avarice, the love of power and
the love of money”