1 "...Hanya sayang dia mengembarai Eropa keluar-masuk salon-salon kaum elite Prancis dan Belanda dan Belgia, untuk jadi besar sebagai satu pribadi, tetapi tidak menyebabkan sesuatu perbaikan bagi bangsanya sendiri. Orang bilang, dia pulang ke Hindia bukan lagi sebagai Pribadi dan guru bagi bangsanya. Dia telah berubah jadi bukan-Pribumi dan bukan guru sebangsanya."
2 "Ilmu-pengetahuan, Tuan-tuan, betapapun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebatnya manusia--dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. Kan begitu, Tuan Jenderal ?"
Jenderal Van Heustz mengangguk tanpa suara.
3. .. orang Belanda muda yang berperawakan atlit itu ternyata berpikiran keras dan tidak segan membongkar kecurangan-kecurangan raksasa yang diderita sebangsaku. Aku menggeletar, tak mampu menerangkan bagaimana perasaanku pada waktu itu. Aku belum apa-apa, aku tidak apa-apa.
"Korupsi bukan sesuati yang asing di Hindia terutama sekali di kalangan pembesar Pribumi " Van Kollewijn terpaksa menjawab "Bukankah begitu, Tuan Jendral ?"
4 "Asal kau tahu, itu kau yang kuhadapi sekarang ini. Sekarang ini. Asal kau tahu, itu yang membikin kau jadi anakku yang sengsara seperti ini. Ah, anakku, kan sudah berkali-kali kukatakan : belajarlah berterimakasih, belajarlah bersyukur, anakku. Kau, kau, berlatihlah mulai sekarang, Nak, berterimakasihlah, bersyukur pada segala apa yang ada padamu, yang kau dapatkan dan kau dapat berikan. Impian takkan habis-habisnya. Belajarlah berterimakasih, bersyukur, sedang kiamat masih jauh."
Suaranya yang lemah-lembut menderu menyambarnyambar, lebih perkasa dari petirnya para dewa, lebih ampuh dari mantra semua dukun, suara dari seorang ibu yang mencinta
5 "Itu penyakit Eropa. Kan lebih baik kau belajar mengingat orang lain juga? Jangan, jangan bicara dulu. Dulu kau sendiri penah bercerita, buat orang Eropa, terimakasih adalah bunga bibir, Tak ada hati yang mengucapkan. Engkau telah menjadi seperti itu, Nak. Aku takkan lupakan cerita-ceritamu itu, Yang pandai ingin lebih pandai dan yang kaya ingin berusaha lebih kaya. Tak ada yang berterimakasih dalam hati. Hidup diburu-buru unutk menjadi yang lebih. Kan kau sendiri dulu yang bercerita pada Bunda? Mereka semua orang menderita : keingina, cita-cita sendiri, jadi raksasa radiraja. Masih ingat ?"
6 "Menurut pendapatku," tulis surat itu, " tak ada satu bangsa di dunia bisa terhormat bila wanitanya ditindas oleh pria seperti pada bangsaku, dan bila kasih sayang hanya pada bayi saja. Setiap orang dengan khidmat akan dengarkan tangis bayi pada pertama kali mereguk udara. Setelah itu si bapa tidak mempedulikannya lagi, sedang si ibu, begitu si bayi mulai dapat merangkak, kembali menjadi hamba dari suaminya. Kadang aku menjadi habis pikir, bagaimana sesungguhnya gambaran pria demikian tentang kehormatan, dan di mana dia meletakkanya, maka bangsanya menjadi tidak terhormat karenanya ?
...
Beberapa kutipan dari buku Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer yang ingin sekali saya tulis.Bahwa sebenarnya keegoisan manusia untuk maju sendiri, tanpa membawa perubahan berarti untuk sekitarnya diceritakan Pram sudah ada dalam diri seorang Minke pada zaman pergerakan awal. Zaman di mana kala itu Hindia merupakan tanah jajahan Belanda tanpa memiliki sesuatu untuk melawan penindasan. Pun jika ada barulah seorang inisiator (diceritakan sebagai mantan dokter keraton Jawa), yang pada kenyataanya tentu tidak bisa berdiri sendiri. Dia harus berkumpul, berserikat, dan mendirikan organisasi. Minke yang baru sadar akan perjuangan berat yang menantinya akhirnya mendirikan Syarikat Priyayi, inisiator koran mingguan Medan Prijaji. Gebrakan pergerakan melawan penindasan yang dilakukan Minke, yang diceritakan merupakan gebrakan pionir dalam sejarah tersebut merupakan jurnalisme. Media massa kali itu, mampu menyentuh hati pribumi nusantara dan menjadi tempat peraduan perlakuan-perlakuan tidak adil yang mereka alami.
Pernah suatu saat, koran tersebut mendapat kritikan dari sahabat Minke, Ter Haar seorang belanda karena hurufnya yang terlalu besar, akan lebih baik jika dikecilkan agar tampilan muka koran lebih enak dipandang. Lalu diceritakan, bahwa pada saat itu pribumi banyak yang belum mampu membeli kacamata. Mengecilkan huruf tentu akan menyulitkan pembaca pribumi yang merupakan sasaran utama dicetaknya Medan Prijaji.
Mungkin saat itu Minke tidak mengangkat senjata untuk mempertahankan tanah airnya. Tapi dia menggunakan apa yang dapat dia lakukan dengan maksimal untuk kepentingan tanah airnya. Dari tulisan-tulisannya juga rakyat jelata kala itu memiliki kesempatan membela diri dari perlakuan sewenang-wenang kaum elite Belanda. Kita tidak harus melawan kekerasan dengan kekerasan, Minke membuktikan dia mampu melawan dengan tulisan.
Pram, penjara juga tidak mampu mebuatnya berhenti menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karnyanya dilarang dan dibakar.
Buku ini dan ketiga buku lainnya dari tetralogi Pulau Buru sudah selayaknya dibaca oleh kaum generasi muda sekarang ini. Saya sendiri serasa 'tersengat' membaca beberapa untai kata dari Pram. Sehebat-hebatnya kamu di negeri orang, tempat kembali kamu ya hanya satu, Indonesia.
mengutip lagi dari buku yang sama,
"... Tugas dokter pribumi bukan saja menyembuhkan tubuh terluka dan menanggung sakit, juga jiwanya, juga hari depannya. Siapa akan melakukannya kalau bukan para terpelajar?
dan bukankah satu ciri manusia modern adalah juga kemenangan individu atas lingkungannya dengan prestasi individual? Individu-individu kuat sepatutnya bergabung, mengangkat sebangsanya yang lemah, memberinya lampu pada yang kegelapan dan mata yang buta."
sumber gambar : google.com